Just Do It

Dulu waktu SMP, sekitar tahun 2004-2005 lah, di sekolah ada pelajaran membatik. Keren kan, sekolahku? Hahaha. Waktu itu, kami punya tugas untuk; menggambar sesuatu terserah selera kita, kalau gambar sudah jadi lalu ditransfer ke kain mori, dan nantinya akan dibatik sampai akhirnya diwarna dan dipigura dengan cantik. Walaupun sayangnya dulu hasilnya nggak dibawa pulang 😦 dan belum usum foto jadi nggak ada dokumentasipun.

Saat itu aku menggambar bunga. Inget banget bahkan sampai bentuk bunganya. Gambarnya ala ala floral wreath jaman sekarang gitu. Aku visioner~

Yang kuingat adalah aku satu-satunya yang gambar bunga. Yang lain banyak banget yang gambar suasana bawah laut gitu; ikan-ikan ada terumbu karangnya. Aku lupa yang murid cowok gambar apa. Luar angkasa apa ya. Hampir semua temen deketku gambar itu (dengan gaya masing-masing tentunya).

Pas gambar sudah hampir jadi, tiba-tiba aku merasa gambarku jeleque karena nggak ada yang sama, atau setidaknya mambu-mambu tanduran jugaklah gitu. Aku pun bilang ke guruku saat itu, Pak Wusri namanya, beliau tu kece abislah. Udah gambarnya bagus banget, cara ngajarnya pun menyenangkan sekali.

Jawaban Pak Wusri saat itu adalah “Ngapain ganti? Gambarmu itu udah bagus lho, nggak ada yang nyamain. Ya kamu gambar laut juga bisa, tapi gambarmu dah jadi bagus buat apa ganti lagi” intinya beliau menolak ideku untuk ganti gambar. Dan meyakinkanku kalau nggak ada yang salah dengan gambarku.

Aku bersyukur sekali Pak Wusri bilang begitu dan aku nurut. Akhirnya jadilah si batik bunga-bunga itu berbeda di antara aneka satwa laut lainnya.

Fast forward ke 2018, meskipun pikiran ini sudah beberapa kali mampir ke kepala, aku jadi sadar betapa dari umur belasan aku udah sangat insecure untuk jadi beda dari sekelilingku. Sampai sekarangpun. Kalau bajuku lagi aneh, kalau mukaku lagi aneh, atau ada yang lain dari biasanya dariku rasanya seolah semua orang menyadari dan sedang diam-diam membatin soal aku. Geer sama insecure beda tipis.

Padahal seperti kata Pak Wusri dulu, nggak ada yang salah dengan diriku, atau apa yang aku lakukan. Dan sebenarnya orang juga nggak ada yang sadar kalau kacamatamu ganti dan menurutmu nggak cocok kali (sering nih merasa gini, hahaha).

Lalu saat semua keyakinan pada pilihan diri sendiri mulai memudar, sebuah kata “just do it” dari seseorang bagaikan sebuah kata penghilang kekhawatiran.

Pun dulu saat ragu-ragu mau move on dari mantan yang tukang selingkuh kepada orang yang baru, untungnya bertemu beberapa teman baik yang meyakinkan kalau jalan yang sama tak pernah membawa ke tujuan yang berbeda.

Dan malam ini di tengah perjalanan panjang menuju ke rumah, seperti diingatkan kembali untuk sesekali jadi orang impulsif yang kepedean. Semacam “ya udah kalo aneh aku pengen kok”

Dan ya, I just do it.

Aku pake jumpsuit yang kukira dress itu. Plus celana jeans. Kebayang nggak kekmana bentukannya?

Sejauh ini dari Kalibata-Gambir-dan duduk aman di kereta, tak ada yang memandang dengan aneh seperti yang biasa kurasa kalau aku melakukan hal yang berbeda.

Senangnya mengalahkan ketakutan diri sendiri. Besok dan seterusnya, lagi 🙂

Tinggalkan komentar